Kusedot rokokku dalam-dalam. Pikiranku kacau, namun aku masih berusaha untuk tenang. Aku berusaha mengendalikan diriku. Mengendalikan gejolak hatiku. Pikiranku saling bertumbukan. Bergulung-gulung tidak tahu jalan keluar. Kutatap Leo yang masih dengan santai terbujur di depanku. Bajunya yang dibiarkan terbuka menunjukan dadanya yang bidang. Celananya kumal. Entah sudah berapa lama tidak dicuci. Di sebelahnya duduk Toreng. Dia kelihatan gelisah, namun berusaha ditutupi dengan rapat. Aku yakin Leo pun gelisah dan takut, tapi dia berusaha untuk tertawa. Beberapa teman yang lain duduk melingkar di ruang sekretariat.
Beberapa lembar koran Memorandum berserak di lantai, diantara puntung rokok dan beberapa kotak rokok. Headline koran Memorandum berkisah tentang seorang anak pengamen yang dibunuh oleh sesama pengamen. Beberapa teman berusaha membaca headline itu. Sepintas aku pun sudah membaca, sebab berita yang sama juga ditulis dalam Surabaya Post dan Jawa Post, meski dengan versi yang berbeda.
Masih jelas terbayang di mataku, Iskandar, Toreng, Dodot, Marjuki, Londo, Yono, Buraji dan lain-lain duduk-duduk bersamaku di tepi jalan dekat perempatan. Saat itu aku sedang berusaha menjelaskan konflik yang terjadi diantara teman relawan dan mereka pada waktu kemping. Aku juga berusaha untuk menjelaskan bahwa aku tidak mempersoalkan TV yang hilang dini hari sebelum kami berangkat kemping. Bagiku jika sudah hilang ya sudah. Tidak ada gunanya diributkan apalagi sampai menimbulkan pertengkaran dan saling menuduh diantara mereka. Sebetulnya aku sangat kecewa. Bukan karena harga TV melainkan tindakan mereka yang tega mencuri TV milik komunitas. Aku merasa gagal dalam membangun pertemanan dengan mereka. Gagal dalam penanaman nilai-nilai kebaikan. TV adalah hiburan satu-satunya di rumah singgah, mengapa masih ada yang tega mencurinya? Aku memberikan TV ku agar mereka mendapat hiburan setelah ngamen. Aku kasihan melihat mereka harus duduk berdesakan di tepi jalan untuk menonton TV di sebuah warung. Tapi mengapa ada yang tega mencurinya?
Masih terbayang dalam mataku mereka duduk di tepi jalan sambil minum La Paloma bersama-sama. Toreng yang sudah agak mabuk menceritakan kehidupannya yang sangat buram. Bicaranya sudah cedal. Tapi dia terus bicara tentang kehidupan keluarganya yang berantakan. Teman-teman lain ngobrol sendiri-sendiri dengan sebentar-sebentar menyodorkan gelas berisi minuman keras pada teman yang lain. Gelas terus berputar. Toreng meminta maaf padaku karena dia mengajak teman-teman minum minuman keras. Alasannya dia sedang stress. Aku sudah mengatakan buat apa minum, toh stress tidak akan hilang dengan minum. Tapi mereka tetap minum. Mabuk. Pukul 21 lebih aku pulang sebab sudah janjian dengan mudika untuk membicarakan koor mudika. Beberapa teman yang sungkan denganku turut pulang. Mereka kembali ke sekretariat. Dalam mobil mereka mengatakan sudah ingin menghindari minuman keras, namun sering kali sulit, sebab kalau sudah kumpul dengan yang lain dan ada minuman keras, mereka tidak bisa menolak. Jika berani menolak bisa dipukuli. Ini bentuk kekompakan. Aku prihatin. Kekompakan macam apa? Kapan teman yang ingin baik bisa menjadi baik kalau senantiasa ada dalam linkungan seperti ini?
Pagi hari aku dapat kabar kalau Toreng dan Leo membunuh Iskandar. Ya Tuhan, persoalan apa lagi ini? Maka aku pun bergegas ke sekretariat. Di sana sudah banyak teman-teman. Mereka cerita bahwa setelah minum-minum itu mereka pergi ke Delta Plaza untuk “hoyen” yaitu mencari sisa-sisa makanan dari restoran yang sudah dibuang di tong sampah. Rombongan mereka bertemu dengan Leo yang ternyata sudah ada di sana. Terjadi pertengkaran antara Leo dan Kandar, lalu dengan disaksikan teman-teman yang lain, Kandar ditusuk beberapa kali oleh Leo hingga tewas. Beberapa teman yang berusaha mencegah dilarang oleh Toreng. Mereka takut dan membiarkan Kandar dibunuh.
Dua tahun aku sudah menjalin pertemanan dengan mereka. Aku selalu mengatakan agar jangan berkelahi, sebab kekerasan tidak akan menyelesaikan persoalan. Kalau ada teman yang ingin “memassa”, yaitu memukuli yang lain secara beramai-ramai, aku selalu melarang. Aku berusaha menghilangkan hukum rimba. Hukum kasih yang kutanamkan ternyata tidak tumbuh di dalam hati mereka. Aku gagal! Malam kemarin salah satu teman dibunuh oleh temanku juga. Kekerasan masih berlaku dan bahkan sangat sadis.
Ketika kutanya pada Leo dan Toreng apakah mereka tidak menyesal telah membunuh Kandar? Mereka berusaha untuk membenarkan tindakan yang telah mereka lakukan. Bagi mereka membunuh Kandar adalah hal yang wajar terjadi di jalanan. Aku tanya apakah tidak takut dosa dan dikejar-kejar oleh hantu Kandar? Mereka mengatakan tidak takut. Bahkan mereka tampak bangga bisa membunuh. Mereka berebut membaca koran hanya untuk melihat berita tentang mereka. Mereka bangga bisa ditulis di koran. Aku miris. Dimanakah belas kasih? Apakah mereka sudah tidak memiliki nurani, sehingga membunuh sesamanya bisa dilupakan begitu saja? Mengapa tidak terjadi pergulatan batin dan penyesalan? Begitu rendahkan harga sebuah nyawa, sehingga bisa dihabisi begitu saja tanpa rasa sesal? Mereka takut bukan karena telah membunuh atau ditangkap polisi. Mereka takut dikejar oleh saudara-saudaranya Kandar. Kandar adalah anak Madura, maka pasti saudara-saudaranya yang juga preman akan mencari dan membunuh mereka. Darah harus dibalas dengan darah.
Kutarik nafas dalam-dalam. Beberapa rokok telah kuhisap habis. Pikiranku bergulat. Apakah aku harus terus di sini? Melihat semua kejadian ini aku ingin meninggalkan mereka dan menjalin hidupku seperti hidup teman-teman seimamatku yang lain. Tapi jika kulihat Dodot, Sutris, Marjuki, Gense, Riki, Pesek dan lain-lain, aku jadi tidak tega. Mereka butuh kasih sayang. Tidak hanya mereka tapi juga Toreng dan Leo. Mereka dari keluarga kacau dan berantakan. Mereka butuh kasih. Mereka adalah pribadi-pribadi yang sakit dan terluka oleh masa lalu. Haruskah aku meninggalkan mereka? Bukankah Yesus sendiri datang untuk mencari mereka yang sakit? Tapi siapa yang dekat Yesus akan berubah, sedangkan mereka tampaknya tidak berubah. Mereka tetap mencuri TV, memukuli teman-teman bahkan membunuh. Kapankah mereka akan berubah?
Aku sadar bahwa aku tidak bisa dibandingkan dengan Yesus yang mampu mengubah orang.Tapi sampai kapan aku harus terus menanamkan kasih? Sampai kapan aku harus mengajak agar mereka tidak menjalankan hukum rimba? Kapankah mereka akan berubah? Ternyata aku masih belum memahami mereka.
salam, yang gelisah
1 komentar:
kita akan terus salah bila yang salah dihadapan kita tidak diperbaiki..... peroleh hikmat untuk bisa mengandalkan kasih dan kebenaran
Posting Komentar
mari berikan balasan yang membangun....
GBU